Untuk Musisi dan Penyanyi, Kirimkan Profil Anda ke Kami untuk Dibukukan

meme-duadekade1

Yth. Teman-teman penyanyi dan musisi.

Ada kabar gembira untuk teman-teman musisi dan penyanyi Indonesia. Sebuah tim kecil akan menerbitkan buku Dua Dekade Musik Indonesia (1998-2018) dengan penerbit KPG (Kepustakaan Populer Gramedia). Buku ini akan mendokumentasikan profil kelompok musik Indonesia dan penyanyi Indonesia yang muncul dari 1998-2018.

Pendokumentasian ini penting untuk penulisan sejarah musik Indonesia, dan penting untuk para musisi dan penyanyi, karena nama mereka akan diabadikan dalam sebuah buku. Karena itu, kami undang para musisi dan penyanyi untuk berpartisipasi dalam melengkapi data-data Anda (kelompok musik dan penyanyi), yang kurang lebih tercermin dalam pertanyaan-pertanyaan berikut ini:

  1. Kapan album Anda pertama kali dirilis? Dalam bentuk peranti (CD, kaset, digital) apa? Perusahaan apa yang merilisnya? Indie atau major label?
  2. Apa genre musik Anda? Siapakah kiblat musik Anda baik dari dalam dan luar negeri?
  3. Berapa lagu dan album yang pernah dirilis?
  4. Apa lagu terpenting Anda? Sebutkan judul-judul lagu yang menjadi hits dari rekaman Anda, dan  sebutkan tahunnya.
  5. Siapa saja musisi yang tergabung dalam kelompok musik Anda, dan apa peran mereka? Di mana domisili kelompok musik Anda? Apa sebutan untuk fans Anda?
  6. Apakah Anda pernah mengikuti festival musik di dalam negeri maupun di luar negeri?
  7. Apakah penghargaan yang pernah Anda dapatkan?
  8. Apa motto musik Anda?
  9. Mohon kirim foto kelompok musik Anda, atau foto diri bagi penyanyi. Ukuran pixel minimal 1400×929.

Mohon partisipasi para musisi dan penyanyi, dengan menjawab kurang lebih pertanyaan-pertanyaan tersebut, dan silakan kirim jawaban ke email kami pabrikbunyi@gmail.com Atau via WA 083875341217 Kiriman kami tunggu sampai 30 April 2019. Terima kasih atas perhatian dan partisipasi Anda.

Penggagas,

Kelik M. Nugroho (mantan wartawan Tempo dan penulis buku Almanak Musik Indonesia 2005-2015).

Bens Leo (pendukung gagasan).

Pengamen Tunanetra Malioboro Bersuara Emas

Proyek musik Pabrik Bunyi meluncurkan lagu baru berjudul Indonesia Merdesa via toko-toko musik digital iTunes, Apple, JOOX, dan lain-lain per 1 Oktober 2018. Untuk aransemen dan permainan instrumen langsung, Pabrik Bunyi menggandeng musisi-musisi Bandung Bendra dan Dhika; untuk vokal, Deden Malioboro. Berikut profil Deden Malioboro.

Deden Abdurrahman, alias Deden Malioboro, adalah pria yang lahir di Bogor pada 22 Juli 1990. Dia anak bungsu dari lima bersaudara dan satu-satunya yang tuna netra. Ayahnya yang kelahiran Lombok adalah mantan karyawan perusahaan swasta, sedang ibunya yang kelahiran Bogor seorang ibu rumah tangga.

Bercita-cita menjadi guru atau seniman, Deden sekarang kuliah di program studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Jurusan Keguruan dan Imu Pendidikan Universitas Cokroaminoto Yogyakarta. Di antara kegiatan di organisasi sosial seperti Pertuni (Persatuan Tuna Netra Indonesia untuk wilayah kota Yogya) dan KKI (Komunitas Keluarga Inklusi), pria lajang ini mengamen dengan menyanyi diiringi musik minus one di depan Mal Malioboro Yogyakarta setiap malam. Kegiatan mengamen ini selain untuk menyalurkan bakat vokalnya, juga untuk mencari nafkah bagi orang tua, keluarga dan anak asuhnya. “Saya juga menyisihkan sebagian rezeki untuk membiayai seorang anak asuh yang masih bersekolah, “ kata Deden yang memiliki kualitas suara seperti Harvey Malaiholo ini.

Pada September 2018, Deden digandeng penulis dan jurnalis Kelik M. Nugroho yang pernah bekerja di grup Tempo dan kemudian membuat proyek musik bernama Pabrik Bunyi, untuk menyanyikan lagu berjudul Indonesia Merdesa karya Kelik M. Nugroho. Diiringi permainan instrumen langsung yang diaransemen oleh musisi Bendra dan Dhika dari Bandung, lagu ini akan beredar di toko-toko musik digital. *

  • Category

  • Song

    • Indonesia Merdesa-18528
  • Artist

    • Pabrik Bunyi
  • Album

    • Single
  • Licensed to YouTube by

    • AdRev for Rights Holder (on behalf of Netrilis)

Lagu No Discrimination Tayang di iTunes

Apa kabar para sahabat? Maaf, setelah sekian lama, baru hari ini, saya bisa memposting sesuatu lagi.

Alhamdulilah lagu No Discrimination karya kami sudah bisa diunduh di toko musik digital iTunes sejak 1 Juni 2018, kebetulan bertepatan dengan Hari Kelahiran Pancasila. Tema antidiskriminasi tentu relevan dengan nilai Pancasila persatuan Indonesia. Juga relevan dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika, harmonis dalam keragaman.

Lagu No Discrimination karya pertama Pabrik Bunyi yang mengandung syair. Pun berbahasa Inggris, karena diharapkan pesannya menjangkau manusia lebih banyak di muka bumi. Lagu ini hasil kolaborasi Pabrik Bunyi dengan Nadea dan Ario, dua musisi asal Jogja.

Pada 2015, melaui iTunes juga, Pabrik Bunyi telah menerbitkan satu mini album berjudul Hyperpositive yang berisi 6 lagu tanpa syair. Album yang memakai instrumen digital ini hasil kolaborasi dengan penata musik Kindar Bhakti Nusantara dan Seno.

Selamat mengapresiasi musik karya musisi Indonesia. Kalau bukan Anda yang peduli, lalu siapa? *

Resensi Buku Almanak Musik Indonesia di Harian Kompas

Harian Kompas edisi 12 November 2016 memuat resensi buku Almanak Musik Indonesia 2005-2015 karya saya dan tim periset @warungarsip Jogja. Peresensi mas Aris Setyawan etnomusikolog.

Berikut pokok-pokok pikiran dalam resensi:
1. Buku Almanak Musik Indonesia (AMI) adalah rintisan pengarsipan musik Nusantara.
2. Pembaban buku: kronik musik, kelompok musik terpilih, leksikon tokoh musik, dan daftar prestasi musik.
3. Buku AMI tak luput dari kekurangan. Sumber data media arus utama, alhasil hanya yang diliput media arus utamalah yang ditulis, yaitu kutub musik dalam industri pop, dan kutub art music. Kutub samping dari musik indie jadinya terabaikan.
4. Ini merupakan gejala dari sesuatu yang lebih besar, yaitu kurangnya upaya pengarsipan komprehensif seluruh kronik musik, dan minimnya liputan media terhadap karya musik dari kutub arus samping.

Terima kasih atas kritik mas Aris Setyawan. Kami akan melanjutkan upaya pengarsipan musik Indonesia dari dekade ke dekade dengan penyempurnaan sana sini dan pengkayaan sumber data. Mohon dukungan semua pihak. *

 

Menikmati Daftar Lagu Sounds of Jogja di iTunes

cover-iTunes

Ketika membuka portal toko musik digital iTunes, mata saya tertarik pada judul daftar putar (playlist) Sounds of Jogja. Saya klik menu itu dan keluarlah daftar 34 lagu berdurasi 143 menit. Saya mencoba mencari tahu pengertian Sounds of Jogja, dan iTunes memberikan keterangan begini.

Affectionately referred to as “Jogja”, Indonesia’s Yogyakarta is considered the gathering point of Javanese arts and cultures. With a heritage spanning several centuries, it’s no wonder tourists visiting  this magical city are often left ovehelmed by it’s diversity, creativity and splendour. This playlist provides an extensive introduction to the regions most iconic sounds and figures.

Keterangan tersebut saya terjemahkan begini: “Lebih dikenal  sebagai Jogja, Yogyakarta Indonesia dianggap titik pertemuan seni dan budaya Jawa. Dengan warisan yang membentang beberapa abad, tidak mengherankan jika wisatawan yang berkunjung ke kota ajaib ini sering dibuat takjub oleh keragaman, kreativitas dan kemegahannya. Daftar putar ini memberikan pengenalan luas untuk musik dan figur paling ikonik di kawasan ini.”

Berikut beberapa lagu dan musisi yang masuk dalam daftar ini: Amber (ROBBRS), Will You Coming Home (Sarita Fraya), Nanar (The Monophones), Yogyakarta (KLa Project), Kita (SO7), Maaf (Jikustik), Hey Cantik (Shaggydog), Lagi Males Kerja (Endank Soekamti), JOGJA (Chinese Man featuring M2MX, Dubyouth, Kill the DJ), Sandaran Hati (Letto), Jaga Slalu Hatimu (Seventeen), Worth It (Stars and Rabbit), Kendang Jogja Rasa Manila (Pabrik Bunyi), Cublak-cublak Suweng (Norbert Stein Pata Masters Meets Djaduk Ferianto Kua Etnika), dan Pada Siang Hari (Senyawa).

Saya tertarik pada daftar putar ini pertama kali karena setelah mendengarkan lagu JOGJA dari grup Chinese Man. Beatnya yang rancak mirip lagu-lagu rap Jogja Hip Hop Foundation, apalagi ternyata Chinese Man, grup triphop dari Prancis ini menggandeng rapper-rapper Jogja antara lain Kill The DJ. Lagu ini unik karena menggabungkan musik dance, mediterania, dan vokal bahasa Jawa.

Lagu lain yang membuat saya tertarik pada daftar putar ini adalah lagu Cublak Cublak Suweng dari kelompok Norbert Stein (saxophonis Jerman) Pata Masters yang menggandeng Djaduk Ferianto Kua Etnika. Norbert Stein adalah saxophonis jazz asal Jerman, Djaduk Kua Etnika adalah kelompok musik kontemporer berbasis gamelan. Ketika kedua aliran musik itu dipadukan, menjelmalah musik hibrida: kontemporer, tradisional, jazz.

Dari dua lagu itu, dan satu lagu dari kelompok eksperimental Senyawa, saya berkesimpulan bahwa pembuat daftar lagu ini mempunyai selera musik yang ciamik. Namun tak berarti semua lagu dari genre-genre tersebut. Sebagai portal toko musik digital dunia, daftar putar ini juga menampilkan lagu-lagu yang pernah menjadi hit, seperti lagu Seventeen, S07, KLa Kproject, Jikustik, Letto dan lain-lain.

Secara umum daftar lagu Sounds of Jogja iTunes ini memang menyajikan musik-musik yang mewakili musisi-musisi Jogja dan warna musik Jogja. Genrenya beragam: pop, rock, grunge, tradisional, jazz, indie (terbanyak), eksperimental, dan kontemporer. Jadi jika Anda ingin melakukan perjalanan dengan mobil  menuju Jogja dan ingin menghadirkan suasana Jogja, datar lagu ini bisa menjadi pilihan Anda. *

 

 

 

Buku Almanak Musik indonesia 2005-2015

cover-almanak-musik

Alhamdulilah proses penyusunan dan penerbitan buku Almanak Musik Indonesia yang sudah saya impikan lama akan segera tuntas. Sekarang ini dummy buku sudah dicetak 5 eksemplar. Langkah berikutnya editing akhir, penentuan desain, dan sentuhan terakhir. Diharapkan buku ini terbit segera di hari-hari sebelum tahun 2015 berakhir.

Keberhasilan buku ini berkat kinerja bagus tim riset yang dikomandani Muhiddin M. Dahlan, kerani @warungarsip di Jogja. Merekalah yang membolak-balik koleksi media cetak di markas mereka yang menjadi satu dengan Taman Bacaan Masyarakat Indonesia Buku dan @radiobuku

Untuk memberi gambaran sekilas isi buku, saya muatkan pengantar buku. Anda penasaran ingin tahu? Berikan komentar dan harapan Anda pada postingan ini. Terima kasih. *

Pengantar

Buku Almanak Musik Indonesia 2005-2015

Menulis buku Almanak Musik Indonesia, yang berarti, mendokumentasikan kronik peristiwa musik, membutuhkan kerja keras dan teliti, juga dana yang tak sedikit. Namun untunglah, sebagian tim penulis buku ini memiliki koleksi buku, koran, majalah, pamflet, poster, CD, kaset, bahkan piringan hitam – sumber-sumber data yang sulit dinilai.

Karena membutuhkan dana besar itulah, dalam pengalaman kami, tak mudah menemukan pihak-pihak untuk bisa diajak kerjasama  mewujudkan buku ini. Harus diakui, ide awal buku ini berasal dari saudara Taufik Rahzen, pemerhati budaya yang pernah juga memimpin upaya penerbitan Almanak Senirupa Yogyakarta (Kemdikbud, 2013).

Dalam sebuah obrolan, ide itu itu kemudian kami tuangkan dalam sebuah proposal dan dummy buku. Proposal dan dummy itu kemudian ditawarkan ke sejumlah pihak, namun lama tak membuahkan hasil. Baru pada Juli 2015, melalui saudara Jati Eko Waluyo (aktivis pemberdayaan masyarakat), kami diperkenalkan dengan Bang Tamsil Linrung, anggota DPR-RI dan pendiri Sekolah Insan Cendekia Madani Serpong Tangerang Selatan. Begitu kami tawari gagasan penerbitan Almanak Musik Indonesia ini, Bang Tamsil Linrung langsung menerima dan bersedia mensponsorinya. Bahkan tawaran kami untuk membuat Perpustakaan Piringan Hitam juga langsung direalisasi dan dirintis.

Mengapa seorang politisi dan pendiri sebuah sekolah Islam modern mau mendukung gagasan-gagasan ini? Kami mencoba meraba-raba benang merah yang menghubungkan antara misi penerbitan buku ini dengan misi sekolah. Kami menduga bahwa benang merah itu adalah keinginan untuk menjadi yang terdepan dalam berinovasi. Buku ini, juga Perpustakaan Piringan Hitam yang dikelola oleh sebuah sekolah, harus diakui yang pertama dalam bidangnya.

Upaya pendokumentasian data peristiwa musik Indonesia harus diakui memprihatinkan. Hingga hari ini bisa dikatakan belum ada upaya pendokumentasian data peristiwa musik Indonesia secara lengkap dan menyeluruh, yang dilakukan oleh kalangan swasta maupun pemerintah. Buku-buku yang ada umumnya masih membatasi pada genre musik tertentu.

Buku ini karena itu berusaha memulai upaya pendokumentasian data peristiwa musik Indonesia itu. Itupun dalam menulis buku ini, kami membatasi pada kriteria-kriteria, dan memprioritaskan data-data musik Indonesia sebagai berikut.

Dalam mempertimbangkan suatu data layak dimuat dalam bab Kronik Musik Indonesia, kami menyortir data dengan mengajukan pertanyaan: apa pentingnya peristiwa ini untuk perkembangan musik Indonesia? Dengan pertanyaan ini, kami menyortir data-data yang kami anggap tidak terlalu penting untuk perkembangan musik Indonesia.

Setelah itu, data-data musik tersebut kami sortir lagi dengan proritas yang kami tetapkan. Menurut kami, prioritas tersebut adalah sebagai berikut:

  1. Penerbitan album.
  2. Penerbitan lagu tunggal (single).
  3. Penghargaan musik.
  4.  Pembukaan dan penutupan industri musik.
  5. Tur musik ke mancanegara.
  6. Diskusi musik.
  7. Wafatnya orang musik.
  8. Konser musik genre kontemporer/klasik/jazz/world music.

Bab lain yang menarik dalam buku ini tentang daftar band Indonesia ternama. Langkahnya, pertama, kami mengusulkan 100 lebih nama band Indonesia. Kedua, kami mengusulkan agar band yang terpilih harus memenuhi kriteria tertentu, yaitu band yang lahir dari 1950-1990; band harus memiliki lagu yang memorable dalam sebuah album; band tak dibatasi genrenya.

Mengapa kriteria band dibatasi untuk yang lahir 1950-1990? Pertimbangannya sederhana saja, yaitu untuk membatasi pelacakan data yang mungkin akan memakan waktu lebih lama dan sumber data yang lebih banyak.. Maklum, pasca 1990-an banyak band baru yang lahir. Pertimbangan lain, band-band lama memiliki nilai informasi eksotis, dan karena tuanya, band-band tersebut harus segera didata dan didokumentasikan, sebelum sumber-sumber informasi tentang mereka hilang.

Semoga upaya pendokumentasian data peristiwa musik ini bermanfaat untuk kemajuan musik Indonesia. *

Kelik M. Nugroho

Pimpinan Proyek

Almanak Musik Indonesia

Perpustakaan Piringan Hitam

Perpustakaan Piringan Hitam

Sumber: Koran Tempo, Jumat 26 Juni 2015

Oleh Kelik M. Nugroho, kolektor piringan hitam

Lagu itu dimulai dengan suara lengkingan biola yang mengalunkan melodi irama Mediteranian. Suara gitar bas pun mengalunkan beat irama padang pasir.  Lalu terdengar lirik: “Dalam cerita lama tersebut kisah, Abunawas jenaka menghadap raja. Hilang pasti nyawanya karena bersalah, tapi aneh akhirnya mendapat harta….”

Lagu piringan hitam tahun 1960-an dari kelompok penyanyi Yanti Bersaudara asal Bandung itu-yang diputar dengan peranti turntable dan tata suara elektronik canggih-terdengar dari lantai dua sebuah gedung di asrama Sekolah Insan Cendekia Madani, Serpong, Tangerang Selatan, suatu hari di bulan Juni 2015. Ini sekolah dengan konsep asrama yang dilengkapi sarana dan prasarana pendidikan modern-ruang kelas ber-AC, aneka laboratorium, perpustakaan hebat, gedung-gedung berarsitektur dengan konsep tropis, dan perangkat multimedia yang canggih. Sekolah swasta ini memang sedang merintis pembuatan perpustakaan piringan hitam musik Indonesia.

Kalau Anda mencari perpustakaan piringan hitam di Indonesia di mesin pencari Google, yang akan muncul adalah perpustakaan milik politikus Fadli Zon dan Helmy Faishal Zaini, yang menyediakan juga koleksi piringan hitam. Atau Galeri Malang Bernyanyi, yang akan membangun Museum Musik Indonesia, dan situs iramanusantara.org yang dikelola oleh pengamat musik David Tarigan. Bagaimana dengan perpustakaan sekolah? Tampaknya baru Sekolah Insan Cendekia Madani di Serpong inilah yang berinisiatif.

Perpustakaan piringan hitam musik Indonesia di sekolah niscaya penting untuk banyak hal. Pertama, untuk kepentingan literasi budaya. Sudah saatnya siswa diperkenalkan pada warisan musik Indonesia, sebagai pintu masuk untuk mengapresiasi warisan budaya Indonesia. Kedua, untuk kepentingan literasi teknologi musik. Agar generasi muda bisa menghargai karya musik, mereka mesti diperkenalkan perkembangan teknologi musik dari waktu ke waktu. Melek sejarah teknologi musik ini penting untuk mengembalikan kecintaan mereka pada karya musik, sebagai imbas tergerusnya kecintaan pada fisik musik akibat menjamurnya teknologi digital.

Ketiga, untuk kepentingan perawatan dan pelestarian piringan hitam musik Indonesia. Ketika perhatian pemerintah terhadap piringan hitam sebagai warisan budaya masih defisit, upaya-upaya pihak-pihak swasta untuk mengoleksi, merawat, dan melestarikan piringan hitam musik Indonesia patut diapresiasi. Kita mesti khawatir bahwa suatu saat bangsa kita akan kesulitan memiliki semua arsip musik Indonesia, khususnya yang terekam di atas piringan hitam. Ini mengingat tak semua album piringan hitam dicetak dalam jumlah banyak, sementara penjualan piringan hitam musik Indonesia sudah memasuki era pasar lintas negara. Orang bisa membeli piringan hitam melalui toko dan lapak daring.

Juga karena kini sudah mulai banyak turis asing berburu piringan hitam musik Indonesia di kios-kios barang antik, seperti di Jalan Surabaya, pasar Taman Puring, dan pusat penjualan baru di Blok M Square-semua di Jakarta. Sedangkan penjual piringan hitam kita tak mengenal nasionalisme musik Indonesia. “Maaf Pak, piringan-piringan ini sudah dipesan oleh orang Jepang,” kata seorang penjual vinyl di Blok M Square. Dia menjual satu set piringan hitam album Chrisye seharga Rp 6 juta. Nah! *

Ide untuk Badan Ekonomi Kreatif

Sumber: Koran Tempo, 5 Juni 2015

Ide untuk Badan Ekonomi Kreatif                                               

Kelik M. Nugroho, @KelikMNugroho

Pada 2007, Departemen Perdagangan RI menerbitkan buku Pengembangan Industri Kreatif menuju Visi Indonesia Kreatif 2025. Dalam buku juga dimuat Rencana Pengembangan 14 Subsektor Industri Kreatif Indonesia (2009-2015). Sebagian isinya mungkin sudah tidak relevan, tapi sebagian sisanya tentulah masih relevan karena bisa menjadi bahan evaluasi untuk pengembangan industri kreatif paling tidak 10 tahun ke depan.

Memuat semua aspek pengembangan industri kreatif di Indonesia secara komprehensif dan mendetail, buku ini niscaya bisa dijadikan model perencanaan pengembangan industri kreatif di Indonesia. Pertanyaannya: apakah pengembangan industri kreatif selama 2009-2014 berhasil? Saya kira, berdasarkan buku ini, para stake holder di bidang industri kreatif bisa memakainya sebagai parameter untuk mengukur berhasil-tidaknya program pengembangan industri kreatif dalam kurun 2009-2014.

Karena itu, salah satu langkah yang harus dilakukan Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf), yang menggantikan sebagian peran Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif sejak 2014, adalah menggunakan buku ini untuk mengevaluasi konsep dan pelaksanaan program pengembangan industri kreatif dalam kurun 2009-2014.

Untuk selanjutnya, pada tahun pertama Bekraf mengkaji relevansi rekomendasi rencana aksi masing-masing subsektor. Jika ada rencana aksi yang masih relevan, Bekraf harus segera mengeksekusi, sebagaimana ciri etos kerja yang ditekankan Presiden Joko Widodo: kerja cepat.

Industri kreatif di era Presiden Joko Widodo diasumsikan akan berkembang lebih cepat dibanding pada masa pemerintahan sebelumnya, karena banyak faktor, antara lain: karakteristik manajemen pemerintahan Joko Widodo yang menyatakan bahwa semua program pemerintah adalah program presiden. Pernyataan ini untuk mengikis kecenderungan sifat ego sektoral kementerian yang selama ini mengendurkan kerja sama antara kementerian dan lembaga.

Karena itu, sejumlah rekomendasi rencana aksi pengembangan industri kreatif yang melibatkan kementerian dan kerja sama lintas kementerian bisa diinventarisasi, dikaji relevansinya, dan kemudian dieksekusi sesegera mungkin. Di era Jokowi, diasumsikan bahwa hambatan-hambatan yang sifatnya birokratis bisa diselesaikan dengan cepat.

Langkah lain: 1) Membuat prioritas pengembangan subsektor industri kreatif (saya usulkan prioritasnya: kerajinan, kuliner, fashion, musik, dan film); 2) Membuat proyek mercusuar. Ini untuk memudahkan publik melihat prestasi Bekraf dalam lima tahun mendatang; 3) Pembentukan bank data dan riset; laboratorium kreasi; serta divisi promosi–yang harus dibaca dan ditafsirkan dalam satu napas “penciptaan atmosfer kreatif dan entrepreneurship”.

Modelnya bisa melihat Thailand Creative and Design Center (TCDC), badan mirip Bekraf, yang berfokus memberi akses ke publik berupa pengetahuan sebagai sumber inspirasi baru. Peran TCDC antara lain menghubungkan industri kreatif Thailand dengan tren dan pusat industri kreatif serta desain dunia; menghubungkan kreativitas dan desain dengan keunikan, pengetahuan lokal, UKM, dan pasar. TCDC juga berhasil membangun one-stop point bagi pelaku industri kreatif untuk berbagi pemikiran dan talenta, dan mendapatkan akses ke basis data yang kaya. *

SAS, Maafkan Kami

Album Svara karya Slamet Abdul Sjukur

Album Svara karya Slamet Abdul Sjukur

Ulasan Koran Tempo untuk kursus kilat komposisi yang diadakan SAS

Ulasan Koran Tempo untuk kursus kilat komposisi yang diadakan SAS

Entah sejak kapan, teman-teman dekat komposer Slamet Abdul Sjukur yang meninggal dunia 24 Maret 2015, menyebut beliau dengan singkatan SAS. SIngkatan yang menurut saya enak diucapkan dan agak populer, karena mirip nama band rock Indonesia tahun 1970-an.

Sepanjang saya bergaul dengan beliau, saya berusaha untuk memberikan layanan yang terbaik sebagai sahabat, khususnya dalam hubungan saya sebagai pribadi yang bekerja di kelompok media Tempo. Misalnya, ketika beliau mengirim kolom, mengurus honorarium, membutuhkan dokumentasi dan lain-lain.

Terakhir ketika beliau diulas oleh wartawan Koran Tempo dalam kegiatan kursus kilat komposisi yang dimuat Koran Tempo 7 Agustus 2014, SAS menghubungi saya untuk meminta tolong mendapatkan soft copy atau file pdf ulasan tersebut. Malam itu saya dalam perjalanan kereta api dari Jakarta ke Jogja. Saya menerima pesan pendek beliau dan langsung meminta ke bagian perpustakaan Tempo untuk mengirimkan file pdf, lalu mengirimkan file tersebut ke SAS. Saya juga bilang, saya akan mengirimkan dokumen korannya ke beliau. Lalu SAS berkomentar: “Saya merasa seperti di surga kalau dengan Mas Kelik.”

Antara saya dan SAS memang jarang ketemu, setelah saya beberapa tahun terakhir ini kurang berdaya secara ekonomi. Dalam hati saya ingin melakukan banyak hal untuk SAS, tetapi selalu terkendala oleh mobilitas yang terbatas. Apalagi SAS banyak tinggal di Solo untuk mengajar di ISI Solo dan Surabaya, tempat tinggalnya, sementara saya di Bekasi.

Ketika SAS menggelar banyak acara untuk ulang tahunnya yang ke-79 pada 2013, dan saya diundang secara lesan, saya pun dengan sangat menyesal (apalagi sekarang) karena tak mampu menghadiri acara konser SAS. Padahal dalam percakapan telepon sebelum konser, SAS mengatakan kepada saya: “Mas Kelik, kalau saya bisa bertahan hidup untuk tiga tahun mendatang saja ini sudah cukup baik.” Waktu itu saya langsung menanggapinya dengan doa dan optimisme bahwa semoga dan saya merasa SAS akan berumur lebih panjang dari itu.

Namun ternyata memang feeling SAS benar. Dan celakanya ketika SAS diberitakan di media daring sakit pada Maret lalu, saya pun tak mampu melakukan “sesuatu” untuk SAS: baik membezuknya, apalagi membantu pengobatan dan lain-lain. Astagfirullahal ‘adhiim. Ampunilah dosa-dosa hamba ya Allah yang tak mampu melakukan sesuatu untuk guru, dan sahabat kami yang agung ini.

Saya beberapa kali mereview konser SAS di beberapa kesempatan. Dan memang dari konser itulah saya berkenalan dengan SAS. Awal perkenalan kami ketika SAS menggelar konser di Surabaya pada 1993. Dalam konser itu, SAS memperkenalkan istilah minimax, dan memainkan piano dengan mengganjal senar piano dengan kapas dan lain-lain. Beberapa wartawan mewancarainya, tapi yang memuatnya di media menurut SAS hanyalah saya. Dari situ SAS terkesan dan berteman sejak itu. “Jarang wartawan yang bisa menuliskan musik saya,” kata SAS kurang lebih begitu. Terus terang, saya yang mengerti musik secara awam, berani dan bisa menulis reportase dan ulasan musik SAS, juga karena dijelas-jelaskan oleh SAS.

Pertemuan-pertemuan kami berikutnya terjadi pada acara-acara Art Summit yang diadakan di Jakarta. Jika ada repertoar komposer musik kontemporer dari mancanegara, saya mau tidak mau harus mewawancarai SAS untuk mencari penjelasan tentang musik yang sering terdengar tak lazim ini. Misalnya, ketika komposer Amerika Alvin Lucier diundang untuk tampil dalam acara Art Summit.

Dalam kesempatan lain, saya pernah membantu menuliskan ulasan musik atas repertoar pianis dunia, misalnya ketika pianis Ananda Sukarlan pertama kali menggelar repertoar di Jakarta. Saya menuliskan kolom berdasarkan ulasan SAS. Ini dilakukan jika SAS tidak memiliki waktu cukup untuk menulis ulasan musik yang diminta berdasarkan pesanan media.

Begitulah sebagian dari kisah pergaulan saya dan SAS yang masih bisa saya ingat. Ini sekadar catatan pribadi dan barangkali ungkapan penghormatan saya terhadap SAS. Berikut saya sertakan ulasan musik saya atas repertoar SAS pada suatu acara di Kedutaan Prancis — yang belum tentu SAS menerima pendapat saya berikut ini. *

Jejak Teori Fraktal dalam Musik

Oleh Kelik M. Nugroho *)

Komponis Slamet Abdul Sjukur menciptakan musik dari subtansi puisi penyair Prancis Andre Velter.

Seorang penyair. Seorang komponis. Keduanya tampil di satu panggung dalam sebuah kolaborasi yang tak lazim. Yang satu membaca puisi berbahasa Prancis, yang lain memainkan instrumen musik tradisional secara solo. Kedua unsur itu ibarat guntur yang terdengar sayup-sayup dan embusan angin yang mendesir. Masing-masing menjalani garis karakternya, namun kadang saling bertaut dan memagut.

Itulah gambaran pertunjukan kolaborasi Slamet Abdul Sjukur, komponis musik kontemporer terkemuka Indonesia, dan Andre Velter, penyair “pengembara” asal Prancis di Gedung Kesenian Jakarta pada Jumat, 18 Maret 2005. Tontonan gratis yang diselenggarakan Francophonie, Organisasi International Masyarakat Penutur Bahasa Prancis, dan Pusat Kebudayaan Prancis di Jakarta itu menyedot kehadiran banyak penonton. Tentulah, banyak warga negara asing juga datang.

Slamet, aset Indonesia yang hidup bersahaja, malam itu mengusung komposisi berdurasi satu jam, termasuk puisi Andre, tanpa judul. Musiknya menggunakan instrumen gender gancet, karunding, sanza, dan dawai tunggal. Gender gancet adalah gender laras pelog-slendro tumbuk limo yang dipesan khusus dari bahan baja untuk keris. “Efek psiko akustiknya memberikan rasa ayem,” kata Slamet. Sedang sanza adalah instrumen tradisional Peru, sementara dawai tunggal adalah instrumen tradisional India. Masing-masing instrumen itu dimainkan secara solo oleh Slamet secara kronologis yang terdiri dari enam fase: dawai-karunding-gender-dawai-sanza-gender. Puisi Andre muncul kadang secara solo di antara enam fase, dan kadang keduanya saling bertaut.

Musik Slamet yang bertempo lamban secara umum menghadirkan suasana keheningan. Struktur melodinya tergantung mood situasional. Dalam karya kali ini, Slamet memakai pola bermusik yang mengadopsi teori fraktal, di mana serpihan-serpihan mewakili dan mengandung unsur utama. Serpihan-serpihan itu kadang mewujud secara terpisah, kali lain bertaut dan menyatu dengan unsur utama. Bunyi yang dihasilkan oleh instrumen sesuai dengan karakter masing-masing dan dieksplorasi secara maksimal. “Saya tidak mau memperbudak bunyi,” kata Slamet.

Teori Fraktal sendiri dirumuskan oleh ahi matematika Prancis Benoit Mandelbrot pada 1960-an. Sifat paling mencolok bentuk-bentuk fraktal ini ialah bahwa pola-pola khasnya ditemukan berulang-ulang pada skala-skala menurun, sehingga bagian-bagiannya, pada skala mana pun, bentuknya sama dengan keseluruhan. Mendelbrot mengilustrasikan sifat persamaan diri ini dengan memecah sebuah kol dan memperlihatkan bahwa dengan sendirinya, potongan terlihat seperti sebuah bunga kol kecil. Ia mengulangi peragaan ini dengan membagi potongan bunga kol yang sangat kecil, sehingga setiap bagian terlihat seperti keseluruhan bunga kol itu. Bentuk keseluruhan sama dengan bagiannya pada semua level (Buku Jaring-jaring Kehidupan karya Fritjof Capra, terbitan Fajar Pustaka Baru, 2001).

Musik Slamet itu sama sekali bukan bentuk dari musikalisasi puisi, istilah populer yang tak disukai Slamet. Dalam proses penciptaan, Slamet menggenggam substansi puisi Andre – tentang air dan api misalnya, dan kemudian memakai substansi itu sebagai dasar pijak penciptaan musik. Proses kolaborasi itu sendiri merupakan sebuah tantangan, karena dia mengaku menggarap karya itu setelah memperoleh pesanan untuk menciptakan musik pertunjukan kolaborasi dengan Andre. “Ini semacam pekerjaan,” kata Slamet jujur.

Walau karya pesanan, tantangan itu di tangan Slamet, tetaplah menjadi karya yang sangat bernilai. Maklum, Slamet adalah komponis yang telah “jadi”. Karakter utamanya tak meluntur, walau tsunami menghantam dan teror mengancam. Menelisik jejak karya-karyanya, musik Slamet memiliki ciri-ciri khas, antara lain di ambang batas antara yang terdengar dengan yang tak terdengar. Ciri lain menyangkut ketepatan saat (momentum, atau timing). Dan yang utama, musik Slamet cenderung tidak memperbudak bunyi. Berangkat dari ketiga ciri tadi, tak mengherankan bila musik Slamet di telinga kebanyakan orang, terdengar abstrak, aneh, atau membuat kening berkerut.

Musik Slamet memang bukan sejenis hiburan. Putu Wijaya, seniman teater garda depan Indonesia, pernah menulis ulasan terhadap karya Slamet berjudul Parentheses I dan II pada 1977, yang mengatakan bahwa karya Slamet merupakan ajakan untuk berpikir bersama-sama. Dalam pertunjukannya, ada semacam jalan pikiran yang dengan jelas terasa ditawarkan. Meskipun bunyi yang bisa didengar cukup memancing penonton untuk dengan merdeka melanjutkannya dengan asosiasi dan imajinasi bermacam ragam tergantung dari latar belakang setiap penonton, tetapi jelas semuanya sangat rasional. Barangkali inilah yang menyebabkan apa yang bisa dialami dari pertunjukan Slamet lebih banyak meminta daripada memberi. Demikian kata Putu.

Kolaborasi musik dan puisi ini sendiri adalah yang keenam. Sebelumnya Slamet pernah menciptakan musik berdasarkan puisi karya penyair Sitor Situmorang (Week End, dan Bunga di Atas Batu) dan Sugiarto Sri Wibowo pada 1960-an, puisi Tatang Sontani pada 1960-an, puisi penyair Prancis pada 1968, kumpulan puisi Ronald D. Laing berjudul Knots pada 1973, dan puisi Chairil Anwar pada 1982. “Semua karya tersebut saya ciptakan dengan pendekatan yang kurang lebih sama,” kata Slamet.

Apa pandangan Slamet tentang puisi Andre? “Buat saya, inilah seorang penyair. Kata tak lagi memberikan informasi. Di tangannya, kata menjadi bertenaga,” kata Slamet. Di mata Slamet, kepenyairan Andre bisa disejajarkan dengan penyair Indonesia terkemuka Goenawan Mohamad dan Chairil Anwar. Siapakah Andre Velter? Dia penyair kelahiran Ardennes Prancis pada 1945 yang sering mengembara ke banyak negara antara lain Afganistan, India dan Tibet. Ia mendefinisikan dirinya sebagai penyair dan pengembara besar, penulis, penulis esai, penulis untuk koran Le Monde, produser radio, pemimpin redaksi majalah Gallimard. Dalam bahasa puitis, dia adalah pengembara yang selalu waspada. Warga setiap negara. Pengasingan dari dalam. Kekasih angin (kutipan dari “Autoportraits” Parole d’Aube karya André Velter, 1991). Kolaborasinya dengan komponis, seperti Slamet misalnya, adalah upaya menciptakan sebuah oralitas baru, dan menciptakan polifoni baru. *

*) Artikel ini pernah dimuat Koran Tempo pada 20 Maret 2005.

Record Store Day 2015

CD album Happy Coda karya Frau.

CD album Happy Coda karya Frau.

Selamat Hari Toko Rekaman (Record Store Day/RD! Saya sebagai kolektor musik rekaman dan pemilik blog piringanhitam merasa sangat berbahagia pada pekan ketiga April ini yang bertepatan dengan Record Store Day. Ini hari untuk memperingati gerakan kembali ke musik rekaman fisik — yang dimulai dengan penerbitan album-album musik dari kelompok indie dalam bentuk fisik: CD, kaset, dan piringan hitam.

Tahun 2015 ini dilaporkan ada 300 rilisan khusus, dan 90 toko rekaman dan pernak-pernik, yang ikut merayakan RSD. Perayaan dilakukan di beberapa kota, khususnya Jakarta. Lokasi utama di Blok M, sebuah kompleks perdagangan yang sekarang ini entah kenapa menjadi pusat penjualan musik rekaman. Ini peristiwa kebudayaan yang membanggakan dan menggembirakan, bahwa apresiasi terhadap musik rekaman fisik tidak terbunuh oleh kehadiran teknologi digital.

Dalam postingan ini saya beri ilustrasi foto kemasan album Happy Coda karya Frau pada 2013. Frau salah satu yang sadar betul terhadap pentingnya kehadiran fisik sebuah album. Contohnya, ya kemasan album ini yang unik dan detail berupa kotak karton berbentuk bundar bergambar kaleng biskuit yang menumbuhkan tanaman bunga. Di dalamnya, disertakan booklet yang berisi data album dan lirik lagu yang dicetak di atas lembaran-lembaran bundar yang ditata berlapis-lapis. Kemasan ini benar-benar menghadirkan eksotisme fisik album. Ternyata kehidupan menghadirkan keseimbangan dengan caranya sendiri. *